pertanyaan itu mulai muncul ketika saya hendak memeriksakan punggung saya. sudah 2 minggu ini punggung saya sakit. takut saya ginjal karna perhari saya bisa konsumsi 15an obat, akhirnya saya minum air putih buaaanyaakk, perbanyak jalan. awalnya cukup membantu, rasa sakit mulai berkurang tapi sejak tadi pagi (30Maret2010) sewaktu jalan pagi rasanya sakiiiiitt sekali. Untung saja di perjalanan pulang tidak pingsan akibat menahan sakit. La hawla wala kuwwata illa billah…

akhirnya niat untuk periksa ke dokter harus dijalankan juga, bukan niat hanya sekedar niat saja. tapi berhubung riwayat sakit saya sangat kompleks saya harus periksa ke dokter bedah saraf saya. mengapa begitu? hingga sekarang ini saya masih konsumsi obat-obat saraf, jika saya pergi ke sembarang dokter ditakutkan akan diberi obat yang sifatnya antagonis, lalu penanganan juga akan seperti orang normal lainnya. terbukti lho… karena sudah tidak tahan dengan sakitnya akhirnya saya ke tetangga saya yang juga dokter (dr.sumarno), pakde marno tidak mau memeriksa saya. ‘bukan bidang saya, salah2 nanti kenapa2… ke dokter sarafnya aja’. sudah terduga.

karna posisi saya sekarang dimalang jadi saya mesti periksa di dokter bedah saraf di malang, ada rujukan dari jogja dari dokter bedah saraf saya disana. sakit di punggung saya ingin segera saya periksakan. lebih cepat lebih baik, jargonnya. tapi praktek sang dokter baru hari kamis, berarti saya harus menunggu. daripada begitu, sakitnya juga sudah sakit sekali telpun sang dokter dan bilang mau sowan ke rumahnya saja nanti malam. sang dokter bilang ‘oh gak bisa, saya ga buka praktek di rumah’.

’sakit kan ga bisa nunggu sampe jam prakteknya dokter??’

saya tidak tahu ‘apa sih DOKTER itu?’. temen – temen saya banyak juga yang kuliah di kedokteran sekarang. mungkin pertanyaan orang awam macam saya ada yang bisa menjawab, atau bahkan ada dokter yang mau menjawab ya monggo. saya tidak tahu makanya beritahulah. betul, saya awam sekali hanya sekedar ingin tahu saja, jangan disomasi lho yaa…(mbak prita sindrom)

pertama yang saya pikir: kenapa ada dokter yang memang tidak buka praktek di rumah. MUNGKIN karena di rumah adalah waktunya beristurahat, kumpul dengan keluarga dan tidak diganggu lagi oleh urusan yang sudah seharian diurusi. bisa juga ga buka di rumah karena mobilitas yang tinggi, hari ini praktek di kota A besok di kota B terus balik lagi ke kota A dan seterusnya. ato mungkin karena apa lagi ya? hmm…

kedua yang saya pikir: bukannya dokter itu pekerjaannya menolong orang sakit ya? orang sakit memang bayak sekali di rumah sakit, tapi yang tidak ke rumah sakit ya banyak kan? nah kalau orang sakitnya tidak pas dirumah sakit apa dokter juga bakal menolong si sakit?
jaman dulu ada film ER Emergency Room. Di film – film itu dan film apapun yang ada profesi dokternya (yang saya kebetulan tonton) kalau ada adegan: si dokter lagi tidur, jam 2 malam. terus dapet kabar dari rumah sakit bahwa ada pasien bla bla bla, si dokter bergegas ke rumah sakit. nah kalu yang telfon itu bukan rumah sakit gimana ya? sang dokter akan seperti itu juga tidak ya kira – kira?

Kalau niat awal memang ingin jadi dokter karena ingin menolong dan bla bla bla ya hendaknya sang dokter siap, kapanpun ada pasien ya monggo, namanya juga sakit kan tidak tahu kapan datangnya. sang dokter juga tidak perlu repot – repot memasang plang di depan rumah ‘BUKA PRAKTEK dari jam sekian – jam sekian’. orang yang merasa membutuhkan dokter juga pasti akan datang sendiri. dan memang tidak memungkiri juga bahwa dokter juga manusia, punya privacy yang harus dijaga. tapi ya balik lagi saya ingat kata Ben Parker pada Peter Parker di spiderman bahwa ‘big power comes big responsibility’. orang awam macam kami ini kalau sakit ya pergi ke dokter, lha kalau dokternya sedang dirumah dan sedang ingin menanggalkan status dokternya? hhmm… ini sudah masuk ke ranah hati nurani, perasaan, pengabdian tentang apa yang sudah dipelajari saat kuliah.


cita – cita jadi dokter

setauku sebagai mahasiswa pertanian yang tidak pernah masuk ke gedung fakultas kedokteran UGM, dokter itu macam profesi. sewaktu kecil guru TK dan SD sering bertanya ‘kalau besar ingin jadi apa?’ jawaban terbanyak adalah ‘jadi dokter’. betul?

kembali mengutip kata Ben Parker ‘big power comes big responsibility’. jadi dokter itu big power lho. sewaktu smpb coba, minat di fakultas kedokteran di universitas manapun menduduki peringkat atas. banyak peminat, lain sama fakultas pertanian lah. membuat passing gradenya tinggi, hanya anak – anak pintarlah yang bisa llolos passing grade sedemikian. di dalam, pelajarannya juga rumit. anatomi, anestesi, patologi, semacamnya. urusannya nanti dengan orang sakit, nyawa manusia. jelas sekolahnya juga berat, pasti. salut untuk mahasiswa – mahasiswa kedokteran.

nah ‘kenapa ingin jadi dokter?’ jawabannya ‘ingin menolong orang sakit, bu’. seiring berjalannya waktu motivasinya bisa jadi berubah. bisa uang, popularitas, derajat, semacamnya. prioritasnya jadi beda juga dah, bukan menolong menyembuhkan si sakit tapi ‘plus plus’. entah apa ‘plus plus’ itu.

kalau prioritasnya beda gitu wajar kan seorang awam bertanya: ’sakit kan ga bisa nunggu sampe jam prakteknya dokter??’