'Adanya UN untuk mencerdaskan anak bangsa' (Jusuf Kalla)

semalam maksud hati ingin melihat Indonesia mencari bakat di trans tv tapi mama bilang 'ini lho tv one bagus, pak mentri bicara tentang UN'. Alhamdulillah saya terlahir di keluarga pendidik, mama adalah guru matematika di salah satu SMP, papa adalah yaaa bisa dibilang dosen, isu-isu tentang pendidikan pun banyak saya dengar dari obrolan-obrolan mama papa di rumah. di sisi lain saya adalah seorang mahasiswa, banyak teman-teman saya vokal terhadap pendidikan di Indonesia. yang sedang hangat dijadikan topik pembicaraan sekarang adalah UN (ujian Nasional). yang pertama karena saya ada di keluarga yang sangat dekat dengan dunia pendidikan saya mengerti kenapa harus diadakan UN. yang kedua saya mempunyai teman-teman mahasiswa juga yang sangat tidak setuju dengan adanya UN. paling tidak saya mengerti si A beserta alasannya dan si B beserta alasannya juga.

bicara soal UN, tidak perlu yang terlalu dalam dulu yang trivial saja dulu. kenapa namanya UN? maksud saya kenapa diganti UN? setelah sebelumnya UAN, UNAS, EBTANAS, apa lagi ya? kenapa harus diganti-ganti nama padahal ya intinya sama. ujian. tes. soal nama ini saya ko lebih sreg dengan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), waktu saya ujian SD dulu namanya masih EBTANAS. ada kata Evaluasi Belajar, setelah sekian tahun kita bersekolah di ujian final diadakan evaluasi belajar. apakah si anak selama bersekolah ini menyerap segala ilmu yang diberikan sekolah atau tidak, bagaimana tahunya? ya dengan ujian, dengan tes itu, pelajaran sejak awal sekolah sampai tingkat akhir. lalu nilai yang dia dapat dibandingkan dengan standar kelulusan, terlampauikah atau tidak? begitu kan prosesnya?

diakanlah UN ini. siswa dikatakan lulus dengan syarat : (1) nilai rata-rata semua mata pelajaran yang diujikan minimal 5,5. (2) Boleh memuat nilai 4, tetapi paling banyak 2 mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. saya ingat dulu waktu saya SMA, syarat lulus masih 4,25 ada guru saya yang bilang 'harusnya kalian tidak terima dong, anak indonesia kan pinter, masa batas minimal kalian lulus cuma dihargai 4,25?' heheheh



mungkin semalam ada yang liat tvone juga, pak mendiknas Muhammad Nuh berbicara tentang UN, dalam rangka memperingati hari pendidikan nasional. di acara itu, pak mentri terlihat kalem sekali, berbicara tanpa emosi sehingga transfer ilmu dari pak mentri bisa ditangkap pemirsa dengan baik. ada seorang ibu guru dari SMK di jakarta bilang 'tahun lalu sekolah kami lulus 100%, tahun ini ada 2 siswa kami yang harus tinggal'. pak m.nuh menjawab 'tiap tahun ada 3 hal yang berbeda di ujian nasional. 1 siswanya beda. 2 tahunnya beda. 3 soalnya beda. kalau tahun kemarin lulus semua, kemudian taun ini ada yang tertinggal itu wajar. karna memang tidak sama bu'. dalam hati saya 'benul, pak!'

oke kita bahas ya. banyak yang tidak setuju dengan UN sebab tidak adanya pemerataan pendidikan dari sabang sampai merauke. banyak sekali disparitas, mulai dari letak geografis, tenaga pengajar, sarana pengajaran, sekolah yag bobrok, dan sebagainya. banyak sekali LBH, mahasiswa,pengamat pendidikan yang menggunakan pertanyaan ini untuk menolak adanya UN, berikut kurang lebih pertanyaannya : 'bagaimana mungkin sekolah dengan kelas yang bocor, siswanya sekolah dengan duduk di lantai karena tidak adanya kursi standar kelulusannya disamakan sekolah-sekolah mentereng di jakarta sana?' hmm... jadi masalah sebenarnya adalah pemerataan pendidikan.

jujur sebenarnya saya setuju dengan diadakannya UN. ya itu tadi sebagai evaluasi siswa setelah sekian tahun mengenyam pendidikan di suatu sekolah. graduate dari sekolah dengan membawa hasil, ada hasilnya sehingga dalam proses bertahun-tahun belajar di sekolah itu ilmu yang sudah diberikan oleh sekolah benar-benar diterima oleh siwa. tidak hanya pergi sekolah-mengikuti pelajaran-lulus. nah lulus itu dengan ketentuan apa? diperlukan adanya suatu patokan agar seorang anak bisa dikatakan lulus. kemudian mengapa harus secara nasional? agar ada persamaan, contoh riilnya saya alami 'mbak dina ini lho, rangking 2 di sekolah padahal nilainya sembilan-sembilan gitu. lha aku lho rangking satu, nilaiku cuma delapan delapan gitu padahal', kata sepupu saya yang sekolah di jogja, adik dina adalah adik saya yang sekolah di malang. nah itu dia, adek saya dengan nilai 9 rangking 2, sepupu saya denga nilai 8 bisa rangking satu. Kenapa begitu? tidak adanya nilai standar, patokan secara nasional.

pak m.nuh mencontohkan kenapa pada saat ulangan di satu kelas soalnya dibuat sama? bung vito (host tvone) menjawab 'agar ketauan sang anak menangkap pelajaran dengan baik atau tidak'. pertanyaan di lanjutkan kenapa dalam satu sekolah pada saat ujian kenaikan kelas soalnya dibuat sama juga? 'agar adil, ketauan juga mana yang naik mana yang tinggal kelas'. nah kalau sekarang skalanya nasional bagaimana bisa tau seorang siswa lulus atau tidak? ya perlu adanya ujian yang sama senasional. kalau kemudian ditanyakan adanya banyak perbedaan yang ada pada setiap sekolah dari sabang sampai merauke ya kita sempitkan lagi, di dalam suatu kelas kalau mau dicari perbedaan ya banyak perbedaan yang ada. mulai dari tempat duduk, alat tulis yang dibawa siswa, daya tangkap siswa, sikap siswa dikelas dan sebagainya.

ada satu sekolah yang seluruh siswanya tidak lulus tapi juga ada sekolah dengan tingkat kelulusan 100%.jika persentase kelulusan 2010 dan 2009 turun sekitar 4%, dari 93,74% menjadi 89,88%, apakah itu menjadi ukuran bahwa pemerintah telah gagal? saya rasa kurang bijak dengan penghakiman seperti itu. dengan adanya kelulusan siswa ini bukankah menjadi bahan evaluasi, adanya follow up dari ketidaklulusan siswa itu, 10-14 mei akan diadakan ujian ulangan, masih adanya kesempatan utntuk memperbaiki nilai bagi siswa yang tidak lulus.

lalu ada pendapat lagi : 'tidak adil jika 3 tahun sekolah, kelulusan siswa hanya dipertaruhkan selama 5 hari ujian'. kelulusan itu bukankah ditentukan dari nilai nasional (UN itu) dan nilai dari sekolah? nilai sekolah diperoleh darimana? ya dari awal siswa bersekolah di situ hingga ada di tingkat akhir. jika nilai dari sekolah memenuhi sedang nilai UN tidak memenuhi maka siswa dikatakan tidak lulus, seperti yang banyak terjadi. tapi demikian juga sebaliknya, jika nilai UN memenuhi sedangkan nilai sekolah sekolah tidak memenuhi maka siswa juga dikatakan tidak lulus, tapi kejadian ini jarang terjadi.

lain halnya dengan yondi dari SMAN 9 Yogyakarta, nilai UN siswa jurusan IPS ini memenuhi standar kelulusan. tapi siswa ini dinyatakan tidak lulus oleh sekolah karena nilai akhlak dia adalah C. sekolah bertindak tegas dengan tidak meluluskan siswa ini. 'Terkait Yondi sendiri, Hardja mengatakan, yang bersangkutan sering terlibat masalah, salah satunya pernah membolos sekolah tanpa keterangan selama dua minggu. Terakhir adalah pada 5 April, seusai UN, Yondi dan beberapa temannya terlibat aksi bullying terhadap seorang siswa SMA sekolah lain. Akibat hal itu, Hardja mengatakan, poin pelanggaran Yondi di SMAN 9 menjadi 200 atau hampir dua kali lipat dari batas maksimal 101'(Kompas). ya menurut saya dengan maksud memberikan efek jera. bagi saya sekolah bukan hanya merupakan tempat seorang guru mengajar, tapi juga mendidik. nilai akhlak C yang didapat yondi bukan diambil dari sehari dua hari dia bersekolah saja, tapi selama 3 tahun dia bersekolah di SMAN 9 Yogyakarta. ini merupakan suatu bukti bahwa kelulusan siswa tidak hanya dipertaruhkan pada 5 hari ujian itu saja.

apapun pendapat yang muncul, pro kontra yang terjadi, itu alami terjadi bukan? sebagai bahan koreksi, evaluasi.